Menjaga Tradisi, Bahasa Lestari, Upaya Para Pemuda Sulawesi Tenggara

Menjaga Tradisi, Bahasa Lestari, Upaya Para Pemuda Sulawesi Tenggara
info gambar utama

Pada Desember 2013, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperkirakan bahwa dari 746 bahasa daerah di tanah air, sebanyak 169 bahasa terancam punah dengan kondisi jumlah penutur di bawah 500 orang.

Punahnya bahasa daerah akan berdampak pada hilangnya kearifan lokal, sistem filosofi, obat-obatan, dan seni keterampilan yang dikuasai kelompok masyarakat tertentu.

10 tahun berselang, bagaimana kondisi pelestarian bahasa daerah di Indonesia? Kemdikbud melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang tersebar di 30 provinsi aktif mengupayakan program revitalisasi bahasa. Kamus bahasa lokal mulai diterbitkan dalam bentuk cetak maupun digital, pendataan dan kajian linguistik juga banyak dipublikasi dalam jurnal ilmiah.

Jika Kawan amati khususnya di Sulawesi Tenggara, kantor bahasa setempat menjalankan beberapa program perlindungan bahasa, di antaranya pelatihan guru yang akan mengajar bahasa daerah dan penerbitan dokumentasi cerita rakyat dalam bahasa Indonesia dan bahasa lokal.

Secara geografis, wilayah Sulawesi Tenggara tersebar di daratan dan kepulauan. Berbagai kelompok etnis seperti Tolaki, Buton, Muna, Cia-cia, Tomia (Wakatobi), Moronene dan Kulisusu bermukim di provinsi yang dahulu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Buton.

Menelisik Kebudayaan Daerah Melalui Kebendaan, Tradisi, Maupun Bahasa di Kota Kudus

Masing-masing kelompok sosial menggunakan bahasa yang berbeda. Maka, Kawan bisa bayangkan, upaya pendataan bahasa beraneka etnis ini tentu membutuhkan waktu dan proses yang panjang, dan akan berhasil jika pemerintah dan masyarakat antar generasi saling bersinergi.

Bahasa daerah yang terancam punah identik dengan jumlah penutur yang makin berkurang, hanya golongan lansia yang masih aktif memakainya dalam keseharian, dan tidak diteruskan ke generasi selanjutnya. Fenomena tersebut terjadi akibat berbagai faktor, misalnya pernikahan antaretnis maupun cara pandang terhadap bahasa lokal.

Saat ini, generasi muda dianggap tidak tertarik mempelajari bahasa daerahnya sendiri dan lebih memilih untuk menguasai bahasa Inggris yang sudah mengglobal. Benarkah demikian?

Menggiatkan Tradisi untuk Revitalisasi Bahasa

Untuk mengetahui kondisi pelestarian bahasa di Sulawesi Tenggara, terutama dari sudut pandang generasi muda, penulis berkesempatan mewawancarai dua pemuda yang masing-masing mewakili etnis Cia-cia dan Wakatobi.

Muhamad Amran bermukim di Kombeli, kabupaten Buton, dan berasal dari kelompok Cia-cia Laporo. Sebagai aktivis budaya, ia kerap mendokumentasikan pertunjukan musik dan tari khas setempat, mengupayakan perawatan cagar budaya, serta ikut terlibat menyelenggarakan pesta adat.

Menurut pengamatannya, hanya 30% warga Kombeli yang masih menggunakan bahasa Cia-cia dalam kehidupan sehari-hari. Mereka umumnya sudah berusia senja dan merupakan tetua adat. Amran mengakui ia sendiri belum fasih berbahasa lokal dan saat ini sedang belajar pada temannya yang berlatar keluarga tokoh adat.

Pelestarian Budaya dalam Bahasa Daerah: Ngamumule Basa Sunda Mieling Basa Indung

Kebanyakan para orangtua juga tidak meneruskan bahasa lokal pada anak-anak mereka. Selain itu, warga lebih sering memakai bahasa ‘pasaran’, yakni kosakata yang disesuaikan dengan kosakata bahasa Indonesia. Misalnya kata “tonde” yang berarti gelas kini sudah bergeser menjadi “galasi”, atau kata “bangka” yang bermakna kapal kini berubah menjadi “kapala”.

Bahasa Cia-cia dapat dijumpai dan didengarkan dalam rangkaian pesta adat yang juga mempertunjukkan sastra lisan, musik dan bermacam tari tradisi. Dalam setahun, warga Kombeli menyelenggarakan pesta adat sebanyak dua kali untuk memulai musim tanam dan merayakan musim panen.

Seluruh warga, baik lelaki maupun perempuan, tua maupun muda ramai-ramai berkumpul di rumah adat baruga. Di tengah acara, ada tradisi lisan saling melempar pantun yang dinamakan kabhanci.

Kabhanci dapat dituturkan oleh siapa saja yang menguasai bahasa lokal, tidak terbatas pada tokoh adat. Lewat pertunjukan kabhanci inilah, masyarakat setempat masih dapat menyimak dan mengakrabi bahasa Cia-cia.

Kondisi yang berbeda dapat kita temukan di kepulauan Wakatobi. Febriansyah, pegiat budaya di sana mengatakan bahwa bahasa lokal masih digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Ia dan teman segenerasi yang berusia 20-an masih dibiasakan orangtua mereka. “Hanya untuk usia 20 ke bawah, sudah pakai bahasa Indonesia mix bahasa daerah.” tambahnya.

Saat ini, Febri bersama teman-temannya memprakarsai komunitas Lekasura untuk kerja pengarsipan budaya setempat. Seperti Amran yang mengunggah video dokumentasi tradisi di kanal YouTube Amran Sapati, komunitas ini juga menyebarkan dokumentasi seni musik dan sastra lisan melalui kanal Lekasura.

Mereka mendapat dukungan dan tanggapan positif dari warga pulau karena telah ikut menghidupkan tradisi yang mulai tak banyak dilirik anak muda.

12 Macam Bahasa Daerah Aceh yang Digunakan Penutur Lokal di Tanah Rencong

Pada 2022 lalu, Lekasura menyelenggarakan program Sekolah Pulau yang diikuti 16 peserta dari kalangan pelajar, guru, dan seniman. Program ini mewajibkan para peserta terlibat dalam seluruh kelas, termasuk mengenali tradisi tenun, ciri arsitektur, perahu, sastra lisan bhanti-bhanti, dan kuliner di daerahnya.

Di akhir kelas, para peserta diberikan tugas untuk menyajikan hasil riset sesuai minat mereka. Dari karya-karya yang dipresentasikan dalam pameran Sekolah Pulau, Lekasura mendapati bahwa sebenarnya anak-anak sangat antusias untuk belajar kebudayaan jika program dirancang seru dan dekat dengan mereka.

Tantangan yang Dihadapi

Dalam menyikapi upaya pelestarian bahasa daerah yang dijalankan pemerintah, Amran dan Febri sama-sama mengapresiasi, meskipun menurut mereka eksekusi di lapangan masih belum maksimal. Mereka berharap program yang dilaksanakan dapat lebih melibatkan seluruh pihak, tidak hanya kelompok tertentu saja.

Amran mengambil contoh dari upaya penyusunan kamus bahasa Cia-cia. Menurutnya, proses musyawarah antarahli bahasa di tiap kampung sangat diperlukan agar tercapai kesepakatan penulisan ejaan. Sementara Febri menyayangkan program penerjemahan cerita anak yang adakalanya tidak mengikutsertakan warga atau komunitas yang bergelut di daerahnya.

Selain itu, Febri juga berharap fasilitas jaringan internet dapat lebih diperbaiki, melihat aktifnya beberapa komunitas menampilkan konten bahasa Wakatobi di berbagai platform seperti Facebook, Instagram, dan Tiktok. Gerakan pewarisan bahasa daerah tak akan berjalan lancar tanpa akses internet yang memadai.

Sungguh miris jika semangat para pemuda dalam membagikan pengetahuan bahasa lokal harus padam akibat infrastruktur yang belum merata di tiap wilayah di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, pelestarian bahasa daerah memang memerlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat antar generasi. Pemerintah patut menyediakan ruang dan fasilitas yang memadai, seraya masyarakat juga aktif menghidupkan tradisi dan berpartisipasi. Berita baiknya, masih banyak pemuda nusantara yang peduli pada kekayaan bahasa dan budaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

WR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini