Dari Perbatasan Negeri, Tenun Sintang jadi Outfit Pemimpin Negara di World Water Forum

Dari Perbatasan Negeri, Tenun Sintang jadi Outfit Pemimpin Negara di World Water Forum
info gambar utama

Terdapat pemandangan unik ketika forum internasional diselenggarakan di Indonesia, yaitu ketika para pemimpin negara dan organisasi dunia kompak mengenakan outfit yang berbahan dari wastra tradisional di Indonesia. Bagi laki-laki terdapat kemeja sementara perempuan mengenakan blazer selendang yang berbahan baku dari batik asal Jawa atau tenun endek dari Bali.

Namun pada jamuan makan malam sambutan World Water Forum (WWF) ke 10 pada 19 Mei 2024 di Taman Budaya Garuda Wisnu Kencana (GWK), giliran wastra Indonesia lainnya yang memperoleh sorotan. Tepatnya adalah tenun Sintang dari tapal batas Indonesia yang menjadi pakaian kehormatan para tamu besar dari berbagai belahan dunia.

View this post on Instagram

A post shared by Joko Widodo (@jokowi)

Kain Pantang, Wastra Tenun Dayak dari Perbatasan Negeri di Sintang

Sintang merupakan nama sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan negara bagian Serawak di Malaysia. Pada wilayah yang dilintasi Sungai Melawi dan Sungai Kapuas tersebut, kelompok masyarakat terbesar terdiri dari etnis Dayak, Melayu, dan Tionghoa.

Dayak Sintang yang terdiri dari beragam sub suku memiliki produk wastra dikenal sebagai tenun ikat Sintang atau akrab disebut masyarakat sebagai kain pantang. Merujuk pada Ambarwati (2020), tenun ikat adalah metode mengikat benang dalam tahap pewarnaan sebelum benang ditenun menjadi selembar kain.

Benang lungsi, benang yang membujur dalam kain tenun, diikat dengan tali plastik pada bagian yang telah ditentukan. Tujuannya agar tercipta warna berbeda pada sehelai benang yang kemudian menciptakan motif saat ditenun. Selain dikenal oleh masyarakat Dayak, teknik tenun ikat juga tersebar di Nusantara seperti di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Toraja, dan Maluku.

Alat tenun yang digunakan untuk membuat kain pantang masih dalam bentuk paling tradisional yaitu alat tenun gedogan yang dipangku dan dikaitkan pada pinggang sang penenun. Pewarna diambil dari rebusan bagian tanaman yang tumbuh di sekitar seperti dari bagian biji, buah, daun, kulit kayu, atau akar.

Daun-daun seperti engkerebang dari tanaman yang tumbuh liar digunakan untuk menghasilkan warna coklat, kemunting untuk warna abu, dan pelam (mangga) untuk warna hijau. Sementara kulit kayu lengkar dimanfaatkan untuk membuat warna merah bata, kunyit untuk warna kuning, serta jangau untuk mengunci warna pada tenun.

Menurut Nurani & Setyawan (2023) motif tenun Sintang umumnya diambil dari rupa flora, fauna, benda alam, hingga alat yang akrab dengan kehidupan masyarakat Dayak. Contohnya motif rabing atau buaya, encengrebung atau pucuk rebung (tunas bambu), tisik langit atau bentuk awan, hingga perahu.

Motif merinjan contohnya menunjukan kedekatan masyarakat Dayak dengan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Merinjan merujuk pada tiga tumbuhan paling penting bagi masyarakat Dayak. Dari tebelian atau ‘raja kayu’ sebagai komponen utama rumah tradisional betang, uwi atau rotan yang berguna sebagai tali dalam konstruksi bangunan, serta akar tenggang yang punya makna sebagai pengikat manusia dan Tuhan.

Tenun kemudian digunakan pada upacara adat Dayak seperti gawai atau perayaan panen padi serta pada upacara maik manik ke pian. Dalam upacara tahap kehidupan masyarakat Dayak tersebut, tenun dikenakan oleh orangtua dan anak bayi yang akan dimandikan di sungai sebagai bentuk penyucian.

Pantangan dalam Pembuatan Kain Sintang

Pembuatan kain pantang tidak terlepas dari pantangan yang terkait dengan nilai yang dipercaya masyarakat. Penenun misalnya hanya boleh dilakukan oleh kaum perempuan. Dahulu menenun atau menantang merupakan peran tradisional perempuan Dayak selain mengurus rumah tangga dan berladang.

Perempuan yang sedang menstruasi atau tengah berduka karena kerabat yang meninggal pun tidak diperbolehkan menantang. Termasuk pada tahapan menyiapkan bahan menenun seperti saat pengambilan pewarna dari alam.

Ragam motif kain tenun Sintang. Sumber: Instagram @galerikainpakansintang
info gambar

Aturan pun semakin kental dalam pembuatan motif sakral seperti rabing atau buaya. Kebudayaan Dayak memiliki respek terhadap reptil tersebut sebagai penguasa perairan seperti sungai. Buaya meskipun merupakan hewan buas yang berbahaya, dinilai hanya mengganggu manusia ketika hidupnya diusik sehingga dikaitkan dengan nilai penghormatan pada kelestarian lingkungan.

Kain bermotif rabing hanya boleh ditenun oleh wanita lanjut usia yang menjanda karena suaminya telah wafat. Penenun juga diharuskan memiliki jam terbang tinggi seperti telah menenun hingga 100 kumbu (lembar) kain pantang.

Kain bermotif rabing yang kemudian akan menjadi pusaka keluarga dipercaya tidak akan selesai jika ketentuan yang ada dilanggar. Bahkan penenun yang tidak mengikuti tuntunan yang ada dipercaya dapat tertimpa kemalangan. Selain rabing, motif berbentuk manusia juga tergolong sebagai motif sakral.

Tak Banyak yang Tahu, Tenun Ikat Sintang Ternyata Laris Manis di Pasar Dunia

Tenun Sintang jadi Pakaian Kehormatan Pemimpin Negara di World Water Forum

Dari tapal batas negeri, kain pantang kemudian menjadi pakaian kehormatan bagi tamu-tamu utama dalam welcoming dinner WWF ke 10 di Bali. Para laki-laki mengenakan kemeja berbahan tenun sementara perempuan mengenakan tenun dalam bentuk blazer atau kain yang disampirkan di bahu.

Tamu kehormatan tersebut terdiri dari Presiden Indonesia Joko Widodo, Perdana Menteri (PM) Tajikistan Kokhir Rasulzoda, Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, dan Presiden Fiji Williame Katonivere beserta istri.

Diikuti oleh Wakil PM Malaysia Fadillah Yusof berikut istri, Wakil PM Papua Nugini John Rosso, Utusan Khusus Prancis Barbara Pompili, dan Utusan Khusus Belanda Meike van Ginneken. Hadir pula petinggi dari organisasi internasional seperti Presiden World Water Council Loïc Fauchon, Presiden Majelis Umum PBB Dennis Francis. Turut serta mantan Presiden Hungaria Janos Ader yang datang bersama dengan istrinya.

Utusan Khusus Prancis Barbara Pompili tampil dengan tenun Sintang dalam makan malam WWF. Sumber: Instagram @franceenindonesie
info gambar

Kain pantang yang dikenakan dalam WWF diproduksi oleh UMKM asal Sintang bernama Galeri Kain Pantang Sintang. Menurut penjelasan dari Instagram resmi mereka, proses pembuatan kain yang dikenakan dalam WWF memakan waktu selama 1-3 bulan dan masih dilakukan secara manual. Proses tersebut melibatkan 140-150 perajin perempuan dari Kabupaten Sintang.

Motif tenun yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo sendiri disebut sebagai ruit besai. Ruit yang merupakan benda tajam masyarakat Dayak untuk berburu membawa filosofi akan nilai kebesaran, keberanian, serta kemenangan. Nilai tersebut dinilai sesuai untuk dikenakan oleh seorang pemimpin.

Pewarnaan kain yang dikenakan dalam salah satu sesi yang paling disorot dalam WWF tersebut juga mempertahankan bahan dari alam. Diantaranya adalah daun engkerebang yang kemudian dikunci warnanya dengan teknik khusus menggunakan kapur sirih.

Pemberian panggung internasional pada kain Sintang menjadi bentuk penghargaan terhadap keragaman wastra tradisional dan kebudayaan Dayak yang diwakilinya. Kain pantang pun sebagaimana dengan WWF erat terkait dengan penghormatan dan pemanfaatan terhadap sumber daya di lingkungan.

Mengenal Kain Endek, Suvenir World Water Forum yang Dipakai Dior hingga Kepala Negara


Referensi

Nurani, A. & Setyawan. (2023). Kajian Motif Tenun Ikat Dayak Sintang. Visual Heritage: Jurnal Kreasi Seni dan Budaya, 5 (2), 201-209.

Ambarwati, M. (2020). Studi Kerajinan Tenun Ikat Sarung Goyor Bapak Sudarto di Desa Kenteng Kelurahan Pojok Kecamatan Tawangsari Sukoharjo. Art Educare, 1 (1), 63-70.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FW
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini