Urgensi Kuliah, Hanya sebagai Pendidikan Tersier?

Urgensi Kuliah, Hanya sebagai Pendidikan Tersier?
info gambar utama

Hak untuk mendapatkan pendidikan dalam negara telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 28 bahwa Hak Asasi Manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk berkeluarga, hak untuk berkomunikasi hingga hak untuk mendapatkan pendidikan. Pentingnya pendidikan menjadikan pendidikan dasar bukan hanya menjadi hak warga negara, tetapi juga kewajiban negara.

Di Indonesia, sistem wajib belajar dimulai dari tingkat pendidikan dasar (SD), pendidikan menengah pertama (SMP), dan pendidikan menengah atas (SMA/SMK). Tujuannya untuk memastikan bahwa semua anak mendapatkan pendidikan yang memadai dan merata.

Namun, program wajib belajar 12 tahun ini seharusnya tidak berhenti di tingkat menengah atas saja. Tingkat selanjutnya mengenai perguruan tinggi (PT) juga memiliki peran penting dalam mencetak sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan global.

Namun, baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan peryataan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek, Tjitjik Tjahjandarie yang mengatakan, “Kita kan bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak semua lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” ucap Tjitjik di Kantor Kemendikbudristek, (15/05/24).

Pendidikan Vokasi Indonesia Jadi Primadona, Ternyata Ini Sebabnya

Alih-alih menjawab persoalan yang sedang marak di tengah mahasiswa baru mengenai kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, malah membuat persepsi yang seharusnya tidak diucapkan oleh seorang Sekjen Dikti Kemendikbud.

Pendidikan pada perguruan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang membentuk karakter, mengembangkan keterampilan berpikir kritis, dan mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih siap untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

Hal inipun ramai dibicarakan diberbagai sosial media yang menimbulkan kemarahan bagi sebagian besar masyarakat.

“Kebutuhan tersier tapi rata-rata loker sekarang minimal S1, sedangkan penyediaan lapangan kerja masih minim dengan syarat dan kriteria yang tinggi, aneh Kemendikbud.” ketik akun @xsotya dalam postingan @tanyarlfes di aplikasi X.

Lalu, dalam postingan yang sama seseorang berpendapat bahwa, “Pada akhirnya akan menimbulkan sistem kasta, yang bisa kuliah harus orang yang emang dari keluarga terdidik dan emang berduit jadi akan memperseleksi pekerjaan. Yang miskin akan sulit naik kasta.” ketik akun @kyronrap.

Banyaknya pendapat menimbulkan semakin kontroversialnya masalah ini yang sudah mulai dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.

Setiap individu berhak mendapatkan pendidikan berkualitas tanpa diskriminasi status sosial atau ekonomi. Pendidikan tinggi tidak dapat dianggap sebagai pembeda kasta bagi yang tidak mampu membayar UKT. Sebaliknya, pendidikan tinggi harus dapat diakses oleh semua orang yang memiliki kemampuan dan motivasi belajar, tanpa terhalang oleh faktor ekonomi.

Apakah Study Tour Masih Relevan dengan Pendidikan di Indonesia?

Pendidikan tinggi memberikan kesempatan bagi individu untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja yang semakin kompetitif. Namun, tidak berarti bahwa hanya orang dengan gelar S-1 saja yang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak.

Penting bagi Kemendikbud dan lembaga lainnya untuk memastikan bahwa persyaratan kerja tidak menyulitkan individu yang belum memiliki gelar tinggi untuk memasuki lapangan pekerjaan.

Sebagai solusi, Kemendikbud perlu memberikan kemudahan akses pendidikan sampai perguruan tinggi dengan memperluas program beasiswa dan subsidi pendidikan yang tepat sasaran. Dengan demikian, lembaga dapat memastikan bahwa semua individu, tanpa melihat latar belakang ekonomi, memiliki akses yang adil ke pendidikan tinggi. Selain itu juga memastikan adanya program-program pelatihan dan sertifikasi kompetensi untuk membantu individu yang ingin memasuki dunia kerja tanpa harus memiliki gelar sarjana.

Dengan begitu, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua individu untuk mengembangkan diri dan berkontribusi dalam masyarakat di era global.

Pajak, Tonggak Kemajuan Pendidikan dan Kesehatan Bangsa

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

SA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini