Mengenal Dr. Cipto Mangunkusumo, Dokter Revolusioner dan Pahlawan Indonesia

Mengenal Dr. Cipto Mangunkusumo, Dokter Revolusioner dan Pahlawan Indonesia
info gambar utama

Dr. Cipto Mangunkusumo lahir pada 4 Maret 1886 di Jepara, Jawa Tengah, sebagai putra Mangunkusumo dan Mas Adjeng Dariah. Sejak muda, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa yang membawanya bersekolah di STOVIA, sekolah kedokteran ternama di Batavia.

Ia dikenal sebagai pahlawan nasional karena perannya dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dr. Cipto mendirikan Indische Partij dan aktif dalam gerakan kemerdekaan, serta berdedikasi meningkatkan kesehatan masyarakat Indonesia.

Kawan GNFI, seperti apa kisah Dr. Cipto Mangunsumo? Simak ulasan berikut!

Masa Pendidikan Dr. Cipto Mangunkusumo

1) Europessche Lagere School (ELS)

Cipto tumbuh menjadi anak yang tampan. Sejak kanak-kanak, ia sudah menunjukkan sifat kepemimpinannya. Ia juga penuh semangat, cerdas, dan rajin.

Pada usia enam tahun, Cipto mulai bersekolah di Europessche Lagere School di Ambarawa, setingkat sekolah dasar. Di sana, ia harus berpisah dari orangtuanya dan tinggal bersama keluarga Mangunwardoyo, sepupu ayahnya.

Kisah Marsinah, Seorang Pahlawan Buruh asal Nganjuk yang Mengikuti Jejak Kartini

Cipto berkembang menjadi murid yang cerdas saat bersekolah di Europessche Lagere School. Kecerdasannya ini membuatnya dikagumi oleh para guru. Pada usia 12 tahun, ia terpilih sebagai murid terbaik dan paling berbakat di Europessche Lagere School (ELS), membuktikan kemampuannya. Saat menjalani tes ujian menjadi klein ambtenaar (pegawai pangreh praja), ia lulus sebagai yang terbaik.

2) STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen)

Pada Maret 1899, Cipto diterima sebagai siswa di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen). Di sini, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Ia memiliki ciri khusus dan unik sehingga menarik perhatian guru dan teman-temannya.

Cipto begitu istimewa dengan kejujuran, kerajinan, dan ketajaman pikirannya. Ia murid berbakat yang dijuluki “Een begaald leerling” oleh gurunya.

Kebiasaan Cipto di STOVIA sangat berbeda dari teman-temannya yang lebih suka berpesta. Cipto lebih memilih menghadiri ceramah, membaca buku, dan bermain catur. Penampilannya juga unik, ia selalu mengenakan surjan berbahan lurik saat menghadiri acara khusus.

Pada 28 Oktober 1905, Cipto lulus dari STOVIA dan menjadi dokter pribumi pada usia 19 tahun, membuat orang tuanya sangat bangga. Setelah lulus, ia harus menjalani masa ikatan dinas dengan pemerintah.

Setelah lulus dari STOVIA, Cipto ditugaskan pertama kali di Stads Verband, Glodok. Namun, ketika bertugas, ia terlibat konflik dengan atasannya, dr. Godefrey, sehingga masa tugasnya di sana singkat.

Kemudian, Cipto dipindahkan ke Amuntai, tetapi kembali menghadapi konflik, kali ini dengan Asisten Residen. Setelah itu, ia bertugas di Banjarmasin selama satu tahun. Pada 1906, Cipto akhirnya dipindahkan ke Demak dan bekerja di sana hingga 1908.

Lahirnya Organisasi Politik

1) Budi Utomo

Para pelajar STOVIA bercita-cita ingin meningkatkan kedudukan dan martabat rakyat Indonesia. Akhirnya, keinginan itu tercapai dengan terbentuknya Budi Utomo pada Rabu, 20 Mei 1908 di Jakarta. Pada saat itu, Soetomo ditunjuk sebagai ketuanya.

Ketika kongres pertama diadakan di Yogyakarta, pimpinan beralih dari generasi muda ke generasi yang lebih tua. Lalu, jabatan ketua dialihkan kepada Tirtokusumo. Dalam kongres pertama ini, terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman. Mereka berdua tidak sependapat dengan pemikirannya masing-masing.

Pahlawan Yos Sudarso, Melihat Lebih Dalam Perjuangan dan Pengorbanannya

Cipto mengharapkan Budi Utomo bergerak secara domokratis dan terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Organisasi ini menurut Cipto harus menjadi pemimpin bagi rakyat. Sedangkan, Radjiman mengharapkan Budi Utomo sebagai suatu gerakan yang bersifat kebudayaan Jawa.

Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi menentang budaya keraton yang mengutamakan bangsawan dan jabatan. Meski idenya dianggap keras dan kurang mendapat perhatian, Cipto percaya persatuan rakyat harus dicapai dengan melawan penjajahan dan feodalisme.

Tak lama setelah merasa harapan dan tujuannya tidak terwakili di Budi Utomo, Cipto memilih keluar dari organisasi tersebut. Hal ini membuat Budi Utomo kehilangan kekuatannya untuk maju.

Setelah meninggalkan Budi Utomo, Cipto aktif dalam upaya pemberantasan wabah pes di Malang. Wabah tersebut menewaskan banyak warga. Namun, dengan keyakinan dan tanpa ragu, Cipto berhasil mengatasi wabah pes di kota itu.

Di sela-sela kesibukannya melayani pasien, Cipto mendirikan "R.A. Kartini Klub" untuk memperbaiki nasib rakyat. Dokter Sutomo, yang juga aktif dalam pemberantasan wabah pes, turut bergabung sebagai anggota klub ini.

2) Indische Partij

Semangat Cipto semakin berkobar setelah bertemu dengan Douwes Dekker, yang saat itu sedang aktif mendirikan Indische Partij. Cipto sangat gembira bisa berkenalan dengan tokoh yang menginspirasi ini.

Cipto dan Douwes Dekker telah saling mengenal sejak lama, ketika Douwes Dekker bekerja di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad di Batavia dan sering bertemu dengan murid-murid STOVIA.

Pada 1912, agar lebih dekat dengan Douwes Dekker, Cipto akhirnya pindah dari Solo ke Bandung. Kemudian, ia mulai aktif dalam kagiatan politiknya secara langsung, setelah menetap di Bandung. Fokus utama dalam kegiatan berpolitiknya saat itu adalah Indische Partij.

Indische Partij adalah organisasi yang anggotanya mengakui Indonesia sebagai tanah air. Mereka keras memberantas diskriminasi ras dan menentang kekuasaan Belanda, dengan semboyan "Indie voor Inders" (Indonesia untuk orang Indonesia).

Pada 25 Desember 1912, di Bandung diselenggarakan rapat pembentukan Indische Partij, di mana Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi), Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) bergabung dalam satu organisasi. Mereka populer dengan sebutan "Tiga Serangkai".

Jamin Ginting, Pahlawan Nasional Indonesia Kebanggaan Masyarakat Karo

Gelar Kepahlawanan

Cipto sempat diasingkan ke Banda selama 12 tahun lamanya. Hingga pada tahun 1940, ia dialihkan ke Makassar. Namun menjelang akhir tahun, kondisi kesehatan Cipto semakin memburuk. Lalu pemerintah memulangkannya dari Makassar ke Sukabumi.

Udara Sukabumi yang dingin, ternyata tidak baik bagi kesehatan Cipto. Kemudian, Moh. Hatta yang sering berkunjung ke rumahnya memaksa pemerintah agar ia dipindahkan ke Jakarta.

Semakin hari, kondisi Cipto semakin memprihatinkan. Badannya bertambah kurus. Ia pun sudah tak bisa lagi mengenali orang-orang yang menjenguknya. Takdir berkata lain, tepat pada Senin pagi pukul 06.00, pada 8 Maret 1943. Cipto Mangunkusumo akhirnya dipanggil Tuhan. Empat hari setelah ulang tahunnya.

Setelah mengetahui wafatnya Cipto, rakyat berdesak-desakan ingin memberikan penghormatan yang terkahir. Kemudian jenazah Cipto dibawa oleh keluarganya untuk dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.

Atas Jasa dan pengorbanannya terhadap bangsa dan negara, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Cipto Mangunkusumo. Gelar Pahlawan Nasional ini berdasarkan SK Presiden RI No. 109 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964.

Tak hanya itu, kini namanya pun diabadikan sebagai nama rumah sakit pusat nasional di Jakarta Pusat, yaitu Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.

Sumber:

Nurjany, Ifah. 2017. Dr. Cipto Mangunkusumo Sang Dokter yang Berjiwa Merdeka. Jakarta: Bee Media Pustaka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini