Indikator Demokrasi Terkait Pemilu di Indonesia

Indikator Demokrasi Terkait Pemilu di Indonesia
info gambar utama

Dalam tulisan ini, saya akan mengupas beberapa hal terkait demokrasi dilihat dari sudut pandang pemilu, sejarah partai, hingga catatan-catatan terkait demokrasi di daerah.

Seperti yang diketahui sebelumnya bahwa bangsa Indonesia menganut asas demokrasi. Sehingga agenda pemilihan umum menjadi salah satu jalan menuju tegaknya sistem demokrasi. Sebab hal tersebut melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik di kota maupun pelosok desa, dari sabang hingga merauke.

Meski begitu untuk sampai ke tahap realitas demokrasi masih sangatlah jauh, dan di sini saya memberikan identifikasi dari dua era yang berbeda:

  1. Era penjajahan oleh kolonial belanda dan jepang. Dimana rakyat dijaman itu banyak yang dijadikan budak dan pekerja paksa (rodi/romusa) tanpa diberi upeti atau upah. Kendati demikian kita tidak menutup mata bahwa, dari kolonial Indonesia mewarisi dan mengenal dasar hukum.
  2. Era dijajahnya keserakahan, dimana yang berkuasa semakin menyengsarakan si miskin, dan keadilan semakin nihil sampai di tahun 2024 ini. Hukuman sudah seperti dagangan dipasar, bagi yang kaya dengan mudahnya keluar dari hukuman tanpa susah payah masuk jeruji besi/sel tahanan, bagi yang miskin hal sepele di jerat hukuman tanpa ampun.
Mitos Air Terjun Sedudo Nganjuk, Kandaskan Hubungan hingga Lancarkan Karier Politik

Berikut ini beberapa indikator kehidupan politik di Indonesia menurut, Bingham Powell Jr:

  • Legitimasi pemerintah didasarkan pada klaim bahwa pemerintah mewakili rakyat
  • Pengaturan bagi yang mengorganisasikan perundingan (bergaining) untuk memperoleh legitimasi dilaksanakan melalui pemilu yang kompetitif.
  • Sebagian orang dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai yang dipilih untuk menduduki jabaan penting.
  • Penduduk memilih secara rahasia dan tanpa paksaan
  • Masyarakat dan pemimpin menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers.

Demokrasi bisa dikatakan seperti “barang antik” artinya segala aspek mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan jalannya demokrasi. Jika negara lemah dan warga sipil kuat demokrasi akan gagal, begitu juga jika negaranya kuat dan warga sipil lemah demokrasinya akan gagal juga.

Hal itu seperti pemaparan dari Arif Budiman yang mengatakan bahwa pembahasan pokok mengenai demokrasi adalah menyangkut interaksi antara negara dengan masyarakat sipil.

Adanya Pemilihan Umum sebenarnya bertujuan sebagai “Sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang pada dasarnya lahir dari bawah menurut kehendak rakyat sehingga terbentuk kekuasaan negara yang benar-benar memancarkan kebawah sebagai suatu kewibawaan sesuai dengan keinginan rakyat, oleh rakyat, menurut permusyawaratan perwakilan”.

Namun, dari perjalanan yang panjang terkait demokrasi di panggung perpolitikan justru lebih cocok saya katakan berteori demokrasi klasik “Transmission belt of power” atau diartikan kekuasaan yang berasal dari rakyat beralih menjadi kekuasaan negara yang kemudian menjelma menjadi wewenang pemerintah untuk memerintah dan mengatur rakyat.

Di sisi lain, hal yang menyangkut fungsional legislatif (DPR) juga belum berjalan sesuai harapan. Bayangkan pada abad ke-18 dan 20 lembaga ini bisa dikatakan tidak menjalankan sebagaimana fungsinya, seperti yang dikatakan oleh Blondel “lembaga tersebut bisu dan impoten jika dihadapkan pada pemerintahan totalitarian”.

Analisis Krisis Minyak Goreng di Indonesia dari Sisi Ekonomi Politik

Sedangkan Keesey mengatakan “aktivitas badan/lembaga ini menjadi sempit mana kala para anggotanya takut bertanya pada eksekutif, pada pemimpin partai dan pada militer”. Dan secara realita didunia manapun eksekutif lebih kuat fungsionalnya dibanding legislatif.

Salah satu yang perlu saya ulas Terkait legislatif adalah Sukarno pernah membubarkan DPR karena iklim perpolitikan yang tidak sehat, dan menggantinya dengan DPRGR yang ditetapkan pada No 4 tahun 1960.

Puncaknya salah satu alasan diadakan pemilu secara demokratis adalah pasca struktur perpolitikan rezim Sukarno yang mulai tidak berjalan, hal tersebut dipicu kekuasaannya yang melekat dan banyak institusi-institusi politik sebagian besar dibawah kepemipinannya, tepat pada era demokrasi terpimpin.

Merujuk pada pemilu, dikatakan jika pemilu pertama pada tahun 1955 adalah pemilihan yang paling demokratis dimana kualitas pemerintah dengan kekuatan politik setara, dan jika mengatakan hasil dari pemilu “wakil rakyat bisa dikatakan berhasil apabila kinerja atau tanggung jawab sesuai dengan amanat Undang-undang dan mengutamakan asas kerakyatan”.

Di Indonesia, sejak awal orde baru banyak masyarakat yang memperdebatkan mengenai demokrasi sistem liberal dan demokrasi sistem terpimpin. Selain itu sistem pemilu ditengarai juga dengan dualistik multipartai atau satu partai. Disatu pihak, ada juga rasa khawatir dengan dampak multipartai yang muncul kembali, tetapi dilain pihak sistem partai tunggal harus dihindarkan.

Tanpa disadari, ulasan yang menimbulkan pro-kontra itu, membawa iklim politik pemilu kearah yang maha dasyat, sekaligus mengantarkan sistem multipartai dengan tiga kekuatan politik.

Menanggapi eksistensi pemilu di era tersebut beberapa mahasiswa berpendapat bahwa pemilu hanya sekedar seremonial politik. Yang bertujuan sebagai sarana diplomasi keluar negri, Pemilu sebagai wadah menyalurkan hasrat keterlibatan rakyat dalam politik praktis. Dalam pemilu, rakyat berpartisipasi dan tidak ada intimidasi, pemilu berjalan baik jika pemerintah dan aparat keamanan tidak memihak kepada salah satu kontestan.

Sehingga dari uraian tanggapan beberapa mahasiswa tersebut bisa dikatakan, Mahasiswa menghendaki bahwa penyelenggaraan pemilu benar-benar digunakan sebagai forum partisipasi politik yang tidak boleh dinodahi dengan menggunakan segala cara demi kemenangan semata.

Mengenal Kehidupan Sosial dan Politik saat Zaman Kerajaan Tarumanegara

Sudah Sesuaikah Mutu Lembaga Legislatif Indonesia?

Sampai saat ini, citra untuk mewujudkan iklim politik pemilu yang mengutamakan standar calon pemimpin masih belum sepenuhnya benar-benar berpatok pada kualitas mutunya.

Salah satu faktornya karena ada issue dan realita adanya permainan money politic. Tak ayal tuduhan miring pun mengiringi legislatif era dulu bahkan sampai sekarang, dimana DPR dikatakan sebagai perwujudan 4D (datang, duduk, diam, dan duit)

Hal utama yang wajib dilakukan dalam memperbaiki mutu legislatif ialah sosok/orangnya terlebih dahulu. Yakni mengeliminasi/ hilangkan hambatan internal dan eksternal dimana tubuh di setiap partai wajib dalam keadaan sehat dan tidak memiliki sumber penyakit yang bersifat “Endemik”.

Pemilu diharapkan dapat menjadi tumpuan awal untuk meningkatkan mutu DPR sebagai langkah awal memasuki era globalisasi. Selain itu berharap pada tubuh partai dapat menghilangkan warisan dendam pada proses pencalonan masa lalu. Serta terwujudnya keterbukaan politik agar politisi dapat terus berpikir positif.

Di lain sisi dengan meningkatnya era digitalisasi secara pesat, tahun 2024 bisa dibilang era meroketnya sistem digital, tentu sarana media, sarana komunikasi semakin berkembang. Rakyat semakin pintar dan melek dengan informasi-informasi yang ada. Segala informasi di dapatkan dengan mudah (dari layar ponsel).

Untuk itu, komunikasi dan sarana diskusi antara legislatif dan masyarakatnya hendaknya sangat perlu ditingkatkan. Hal ini untuk memahami kebutuhan, keluhan, dan hal-hal yang harusnya diprioritaskan untuk rakyatnya, dengan begitu fungsional Demokrasi baru bisa dikatakan berjalan sesuai dengan semestinya.

Referensi:

Pemilu demokratis komperatif. Karim, M Rusli. Yogyakarta Tiara Wacana Yogya 1991. ISBN 979-8120-31-0

Clark D. Neher. (1992). “Democratization in Southeast Asia” Makalah Illinois:_Departement of Political Sciense Northern Illinois University.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

J(
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini