Nietzsche, Jangan Memahami Pemikirannya Secara Harfiah Saja

Nietzsche, Jangan Memahami Pemikirannya Secara Harfiah Saja
info gambar utama

Saat saya mulai belajar tentang Filsafat, banyak yang mengatakan bahwa Filsafat itu ‘Sesat, anti Tuhan, Radikal’ dan argumen blabla lain sebagainya. Namun hal tersebut justru menyulut saya menjadi semakin penasaran dengan ilmu Filsafat.

Dan seingat saya pertama kali saya belajar mengenai Filsafat adalah tentang pemikiran Socrates, yang menarik dari pemikirannya ialah tentang pentingnya sebuah Dialektika. Sosok filsuf yang cerdik namun berkamuflase seperti tidak tau. Namun ditulisan ini saya tidak mengulas mengenai pemikiran sang filsuf Socrates.

Melainkan sosok filsuf berkebangsaan Jerman yang bernama Friedrich Wilhelm Nietzsche atau lebih dikenal dengan Nietzsche yang lahir pada 15 Oktober 1844, semula dibesarkan di kota Rocken dan sekarang menjadi bagian Lutzen Provinsi Saxony, Prusia.

Sejarah Awal Nietzsche, dari Pendeta menjadi Filsuf

Nietzsche adalah anak seorang Pendeta, ayahnya bernama Carl Ludwig Nietzsche dan ibu bernama Franziska Nietzsche. Selain itu, Nietzche memiliki dua saudara pertama bernama Elisabeth Forster dan yang kedua bernama Ludwig Joseph.

Pada tahun 1849, ayahnya meninggal. Enam bulan selanjutnya, duka kembali menyelimuti saat adiknya, Ludwig Joseph, meninggal saat masih berusia dua tahun. Ia beserta keluarganya pindah ke rumah neneknya yang berada di Naumburg.

5 Tokoh Besar Asal Bugis Makassar yang Diakui Dunia

Tujuh tahun berselang, tepatnya pada tahun 1856 setelah kematian Neneknya, Nietzsche dan keluarga pun pindah k erumahnya sendiri yang sekarang menjadi rumah museum (Nietzsche Haus).

Kehidupan akademik Nietzsche dimulai dari kejeniusannya di bidang teologi Kristen yang memiliki nilai sangat tinggi. Selanjutnya pihaknya melakukan studi di Domgynasium yang berada di Naumburg. Empat tahun berselang, Nietzsche mendapatkan tawaran beasiswa di Schulpforta (sekolah yang secara akademiknya sangat diakui oleh instansi internastional). Tawaran beasiswa tersebut bukan tanpa sebab. Pasalnya, ayah Nietzsche sebelumnya pernah bekerja sebagai pendeta di Pemerintahan.

Selama kurang lebih enam tahun, Nietzsche menghabiskan waktu untuk belajar di Schulpforta dan beberapa pelajaran penting yang ia dapatkan dari tahun 1858 sampai 1864, di antaranya seperti bahasa Yunani, Ibrani, Prancis, dan Latin.

Selain itu, karena kepiawaiannya dalam menulis dan membuat komposisi musik, Nietzsche sempat menjadi ketua Germania sebuah klub musik dan sastra.

Pada September 1846, Nietzsche menyelesaikan studinya di Schulpforta dan melanjutkan ke perguruan tinggi Universitas Bonn yang mengambil Teologi dan Filologi Klasik, dengan niat utama ingin menjadi seorang pendeta seperti ayahnya.

Namun, kali ini studinya sedikit mengalami problem. Nietzsche memutuskan untuk menghentikan studi teologinya alasanya ia beranggapan bahwa penelitian sejarah telah mendiskritkan ajaran utama agama kristen. Hal itu tertuang dalam esainya yang berjudul “Fate and History”.

Tidak berhenti hanya sampai di situ, Nietzche juga sempat menyurati adiknya yang sangat religius, Elisabeth berikut isi suratnya:

“Oleh karena itu, jalan-jalan manusia terbelah. Jika kamu ingin mendapatkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan, maka berimanlah; jika kamu ingin menjadi pengikut kebenaran, maka selidikilah.”

Lebih Dekat dengan Adi Utarini, Ilmuwan Bangsa dalam 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia

Setelah berhenti dari studi teologi, Nietzsche mulai benar-benar fokus dengan studi filologinya di Universitas Leipzig. Di sinilah persimpangan jalan yang paling penting dari kehidupan Nietzsche untuk keberlanjutan pilihan hidupnya, di mana Nietzsche beralih menjadi seorang Filsuf.

Sosok yang mempengaruhi pemikiran Nietzsche adalah Arthur Schopenhauer, melalui karya bukunya yang berjudul, The World as Will and Representation.

Dari Esai hingga Karya Fenomenal sang filsuf Niezsche

Setelah melalui proses panjang dan sempat dikucilkan oleh rekan-rekannya di bidang filologi atas karya bukunya yang berjudul, The Birth of Tragedy, ia pun berkeinginan untuk melanjutkan ke akademisi filsafat di Basel. Namun, keinginan itu pun pupus alias gagal.

Di tahun 1873, semangatnya untuk menjadi filsuf mulai nampak. Nietzsche mengumpulkan semua catatanya dan hasilnya di terbitkan sebanyak empat esai panjang secara anumerta, Filsafat di Zaman Tragis Yunanai.

Judul yang pertama adalah David Strauss: Sang Pemberi Pengakuan dan Penulis, kedua ‘Tentang Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah dalam Kehidupan’, ketiga ‘Schopenhauer sebagai Pendidik’, dan keempat ‘Richard Wagner di Bayreuth’.

Keempat esai tersebut adalah sebagai orientasi kritik budaya yang menentang perkembangan budaya Jerman yang telah direkomendasikan oleh Schopenhauer dan Wagner. Nietzsche merespon Wagner dan Schopenhauer sebagai filsafat pesimis, sampai terbitlah buku di tahun 1878 yang berjudul “Human, All Too Human,” mengulas metafisika hingga moralitas dan agama.

Karya kontroversial Nietzsche “The Gay Science”, yang menyatakan bahwa Tuhan Telah Mati menjadi salah satu poin yang menganggap bahwa Nietzsche adalah seorang ateis. Perlu diketahui bahwa Nietzsche meyakini jika doktrin moral Kristen semula di fungsikan untuk melawan nihilisme.

Deretan Tokoh Perempuan Inspiratif yang Majukan Dunia Pers Indonesia

Tentu saja, hal tersebut memicu orang-orang untuk percaya pada nilai moral tradisional entah itu baik ataupun buruk. Sehingga kepercayaan dalam hal ini Tuhan, keberadaanya dapat dijadikan sumber alasan untuk membenarkan adanya kejahatan di dunia.

Terkait Nihilisme, Neitzsche mengatakan bahwa masalah nihilisme merupakan masalah yang sangat pribadi. Ia juga menjelaskan terkait bahaya dan hal yang bisa terjadi dengan adanya nihilisme dimana, penderitaan, kemauan, dan perasaan tidak memiliki sebuah arti dan sia-sia bagi penganut Nihilisme.

Referensi:

  • Nietzsche self-describes his philosophy as immoralism, see also: Laing, Bertram M. (1915). "The Metaphysics of Nietzsche's Immoralism". The Philosophical Review. 24 (4): 386–418.
  • Nietzsche, Friedrich (2006). Adrian Del Caro; Robert Pippin, ed. Nietzsche: Thus Spoke Zarathustra. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-60261-7.
  • Nietzsche, Friedrich (1954). The Portable Nietzsche. Diterjemahkan oleh Walter Kaufmann. New York: Penguin.
  • Joudrey, Thomas J. (2017). "The Defects of Perfectionism: Nietzsche, Eliot, and the Irrevocability of Wrong". Philological Quarterly. 96 (1): 77–104.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

J(
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini