Pelestarian Tari Sang Hyang Dedari, Cara Petani Bali untuk Lestarikan Alam

Pelestarian Tari Sang Hyang Dedari, Cara Petani Bali untuk Lestarikan Alam
info gambar utama

Para petani Banjar Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali menghidupkan kembali Tari Sang Hyang Dedari. Ritual ini adalah warisan budaya yang masih ditarikan, demi menjaga keberlangsungan sawah.

Dimuat dari Antaranews, Sang Hyang Dedari adalah tiga tari sakral yang diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO bersama Tari Rejang dan Tari Baris Upacara pada tahun 2015.

Dusun Br. Geriana Kauh yang dihuni sekitar 177 Kepala Keluarga (KK) seluruhnya berprofesi sebagai petani. Mereka kembali menjalani ritual guna memulihkan sawah dan relasi antar masyarakat yang sempat rusak lebih dari 10 tahun.

Ragam Tarian Asal Nias Sangat Beragam, Apa Saja?

Prajuru desa Br Geriana Kauh, I Wayan Bharata menyatakan saat ini ritual Sang Hyang Dedari rutin ditarikan setiap tahunnya. Hal ini dilakukan saat padi menguning sekitar akhir Maret hingga awal April.

“Warga desa mulai bergotong royong mempersiapkan prosesi ritual Tari Sang Hyang Dedari,” jelasnya.

Bentuk rasa syukur

Dijelaskan oleh Bharata, sawah di desanya sempat rusak karena warga luput menjalankan ritual. Hal ini ditambah penggunaan benih tak organik, berikut pupuk dan pestisida yang tidak ramah lingkungan.

Tetapi cobaan itu perlahan menghilang setelah warga menghidupkan kembali Tari Sang Hyang Dedari. Inisiatif itu datang dari bendesa dibantu prajuru desa-nya untuk kembali menghidupkan kembali ritual demi memulihkan lagi sawah yang rusak.

“Dari 10 tahun ke belakang, kami rutin menjalankan ritual Sang Hyang Dedari, dan terbukti mampu menyejahterakan petani, dan memulihkan kembali sawah warga. Sudah terbukti jika kami meninggalkan ritual, banyak akibat yang diterima warga,”

Mengenal Tari Kipas Serumpun dan Pakarena: Sejarah, Properti, dan Makna

Ritual ini ditarikan seiring dengan aksi warga perlahan mengurangi penanam benih hibrida. Sebagai pengganti, masyarakat menanam banyak benih asal Bali, Padi Bodog, walau hanya berproduksi satu kali per tahunnya.

“Padi masa cukup diperhatikan lebih dari satu dasawarsa terakhir, penyemaian dan penanamannya dilakukan lebih awal. Benih padi ini adalah warisan yang harus dipertahankan karena manfaatnya dapat menyembuhkan orang belahan, atau sakit kepala tak tertahankan,” ujar Bhrata.

Petani ramah lingkungan

Peneliti Tari Sang Hyang Dedari, Saras Dewi menjelaskan Tari Sang Hyang Dedari menunjukkan betapa lekatnya kehidupan ritual masyarakat Bali dengan tradisi pertaniannya. Tari ini juga menjadi strategi mempertahankan lahan pertanian yang ramah lingkungan.

Bagi Saras, tari ini juga bisa menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk memperhatikan aspek sosial budaya, dan lingkungan dalam upaya menumbuhkan produktivitas sawah. Metode pertanian ekologis, jelasnya bisa berperan satu sama lain.

“Ini tentu fenomena cukup asing, bahkan langka, tetapi masyarakat Geriana Kauh mampu membuktikan Sang Hyang Dedari justru menyelamatkan sawah dan menjaga lingkungan hidup lebih dari satu dasawarsa terakhir,” jelasnya.

Tari serimpi, Tarian Sakral Simbol Perlawanan terhadap Penjajahan

Karena itu, dirinya bersama tim berupaya terlibat bersama warga melestarikan Sang Hyang Dedari. Salah satunya, pembuatan pusat dokumentasi Sang Hyang Dedari berupa museum juga laman guna memusatkan seluruh informasi.

“Pusat dokumentasi itu penting dibuat mengingat Sang Hyang Dedari kini terancam punah, padahal memiliki banyak kegunaan dan menyimpan potensi lain untuk terus dikaji demi kemaslahatan sawah, bahkan masyarakat Bali,” ujarnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini